Rabu, 23 April 2008

Nabi - nabi Palsu akhir zaman


Kali ini aku tampilkan artikel mengenai nabi-nabi palsu yg pernah muncul sepanjang sejarah Islam. Tidak semua nabi palsu aku tampilkan, karena keterbatasan waktu pencarian referensi (+ngetiknya). Yg jelas, aku berusaha tampilkan selengkap+seinformatif mungkin.
Sebenarnya nabi palsu tidak saja muncul di Islam, di agama2 lain juga sering terdengar kasus serupa. Nabi-nabi palsu ini tidak saja muncul di negara2 yg agamis (baca: Indonesia, Pakistan, dll) akan tetapi juga muncul di negara2 maju (Amerika, Jerman, dst). Ini menunjukkan bahwa kian banyak orang ‘keblinger’ (disertai penekanan) yg merasa dirinya menjadi pilihan Tuhan-nya utk menjadi pemimpin di dunia ini. Ajaran2 para nabi palsu ini banyak yg menjelma menjadi aliran atau sekte. Ada yg bisa bertahan (sekian lama), namun tidak sedikit yg hilang bak ditelan bumi.
Kemunculan nabi2 palsu ini tidak sekedar menjadi polemik akan tetapi banyak berujung kepada kekerasan dan kematian. Kasus paling hangat adalah diobrak-abriknya markas Ahmadiyah di Bogor beberapa waktu yg lalu. Namun demikian, kemunculan nabi palsu terus hadir dan selalu saja ada orang2 yg menjadi pengikutnya, bahkan menjadi anggota militan yg bersedia mengorbankan nyawanya.
Nabi palsu tidak saja muncul setelah Rasululloh SAW wafat, bahkan pada saat beliau masih hidup sudah banyak orang2 yg mengaku menjadi nabi, untuk menandingi beliau. Nasib para nabi palsu ini bermacam-macam, ada yg digantung sampai mati, dibakar, dirotan, bahkan ada yg menjadi gila. Beberapa nabi palsu yg berhasil aku kumpulkan literaturnya adalah:
1. Musailamah al Kadzdzab, muncul di jaman Rasululloh SAW, berlokasi di Yamamah. Nasibnya tewas di tangan Khalid bin Walid pada saat diperangi di jaman khalifah Abu Bakar.
2. Aswad al Ansi, muncul di jaman Rasululloh SAW, dg lokasi di Yaman. Tewas di Yaman.
3. Tulaihah al Asadi, muncul di jaman Rasululloh SAW, dari kabilah Bani Asad. Di akhir hayatnya dia bertaubat.
4. Sajjah binti al Harits, muncul sesaat setelah Rasululloh SAW wafat. Dia berasal dari suku Tamim di Irak. Di akhir hayatnya bertaubat dan menjadi muslimah.
5. Ahmad bin Husain
6. Laqit
7. Mirza Ghulam Ahmad, muncul di akhir 1800-awal 1900an. ‘Diangkat’ menjadi nabi oleh Inggris dg agama Ahmadiyah (ndompleng Islam tapinya) di akhir hayatnya mati sakit di kamar mandi (beberapa sumber menyatakan di wc) dg kondisi menyedihkan.
8. Mirza Ali Muhammad
9. Bahaullah, aku hanya tau agama yg dia sebarkan, agama Baha’i. Lainnya tidak diketahui.
10. al Mukhtar bin Ubaidillah
11. Ibnu Sam’an
12. Amir bin Harb
13. Abu Mansur al Ijli
14. Ibnu Said as Sajli
15. Abu Khattab al Asadi
16. Ibnu Bahram al Juba’i
17. Hasan bin Hamdan
18. Abu Qasim an Najar
19. al Muni’ul Qashar
20. Ibnu Kharba al Kindi
21. Abu Muslim as Siraj
22. Harits bin Saad, muncul di jaman khalifah Abdul Maik bin Marwan (Bani Umayyah). Dibunuh oleh pengikutnya sendiri.
23. Isa al Asfahani, muncul di jaman khalifah al Mansur (Bani Abbasiyah). Dihukum mati.
Yang lebih ‘parah’nya lagi, ada orang Indonesia yg mengaku2 juga sebagai nabi. Berikut beberapa diantara mereka:
1. Zikrullah Aulia Allah, berasal dari Sulawesi Tengah.
2. Ali Taetang, berasal dari Banggai (silakan cari sendiri letak+lokasi Banggai, aku juga ndak tau, hehehe..)
3. Dedi Mulyana alias Eyang Ended, berasal dari Banten. Nabi palsu ini sebenarnya malah dukun cabul.
4. Lia Aminuddin, berasal dari Jakarta. Dia mengaku sering mendapat wahyu dari malaikat Jibril. (doh…!!)
Demikian sekelumit artikel tentang Nabi-nabi palsu. Semoga qt senantiasa terlindung dari kejahatan yg mereka timbulkan.

Sabtu, 19 April 2008

Ajaran versi Ahmadiyah di Indonesia


Beberapa Tugas Almasih
Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, oleh kaum Ahmadi, diyakini sebagai Almasih yang dijanjikan oleh Nabi Suci saw., yang tugas-tugasnya antara lain: membunuh Dajjal, mematahkan salib, membunuh babi, dan menjadi hakim yang adil.
Dajjal, dalam interpretasi Ahmadiyah, adalah aspek teologi Yakjuj dan Makjuj, yakni bangsa-bangsa Barat, dengan ciri utamanya materialistik. Itulah makanya, dalam Hadits dikatakan bahwa Dajjal sebelah matanya (kanan) buta, sedang mata kirinya cemerlang. Jadi secara singkat dapat dikatakan bahwa Dajjal adalah pola hidup materialisme, yang memang tidak selaras dengan ajaran Islam yang spiritualistik.
Sebuah Hadits mengatakan bahwa fitnah terbesar sejak diciptakannya Adam sampai hari Kiamat adalah fitnahnya Dajjal. Ini artinya, materialisme telah menyebabkan orang lupa pada tujuan hidup yang sebenarnya, kecuali sekedar kenikmatan duniawi. Jika materialisme dibiarkan merajalela, maka derajat dan martabat manusia sebagai ciptaan Allah yang terbaik (ahsani taqwiim) menjadi rendah. Materialisme membawa implikasi buruk, yakni penghalalan segala cara untuk mencapai tujuan, yakni kenikmatan duniawi. Jika demikian, apa yang membedakan manusia dengan binatang? Jadi membunuh Dajjal, tidak lain adalah menghindarkan kaum Muslimin dari pengaruh materialisme dan mengembalikannya kepada spiritualisme.
Diakui atau tidak, Hazrat Mirza Ghulam Ahmad telah berhasil mengidentifikasi sosok Dajjal dan Yakjuj dan Makjuj, yakni bangsa-bangsa Barat, paling tidak dalam perspektif waktu itu, dengan teologi kekristenannya. Tidak bisa dipungkiri, kaum Muslimin telah terjerat dalam fitnahnya Dajjal sedemikian rupa sehingga spiritualistas Islam menjadi terabaikan. Islam telah berubah menjadi sistem ritual yang formalitas dan kosong. Akibatnya, umat Islam dengan mudah dapat didominasi oleh bangsa-bangsa Barat, karena tidak memiliki ketahanan spiritual yang memadai.
Mematahkan salib, artinya adalah mematahkan dalil-dalil dan argumentasi-argumentasi yang menopang bangunan teologi yang disimbolkan dengan bentuk salib. Teologi kekristenan dibangun di atas pondasi keyakinan terhadap kematian (di atas salib) dan kebangkitan kembali Yesus Kristus untuk menebus dosa. Bangunan itu tentu akan runtuh jika dapat dibuktikan bahwa Yesus tidak mati di atas tiang salib, dan juga tidak akan bangkit lagi. Sayangnya, kaum Muslimin sendiri banyak yang keyakinannya justru menguatkan keyakinan seperti itu, meskipun, secara sepintas, tampak berbeda. Salah satu keyakinan yang menguatkan kekristenan adalah, bahwa Nabi Isa masih hidup (sampai sekarang) di langit, dan pada saatnya akan turun kembali ke dunia. Keyakinan semacam ini telah dimanfaatkan oleh umat Kristen untuk menunjukkan bahwa Nabi Isa lebih hebat dibanding Nabi Muhammad saw. Hidup lebih dari 2000 tahun tanpa makan dan minum, menunjukkan bahwa Yesus adalah Tuhan, karena yang tidak memerlukan makan dan minum hanyalah Tuhan saja (tentang penyaliban dan kematian Yesus akan dibahas tersendiri). Keyakinan seperti itulah yang menjadi penghalang diterimanya Islam oleh orang-orang Barat.
Membunuh babi, dalam interprestasi Ahmadiyah, adalah membunuh tabiat-tabiat kotor, rakus, mengutamakan kegemukan duniawi, seperti yang dimanifestasikan oleh binatang babi. Dalam ajaran Qur’an, daging babi haram dikonsumsi. Banyak teori telah dikemukakan oleh para ahli untuk mengungkap misteri keharaman daging babi. Dari berbagai teori tersebut ada satu kesepakatan bahwa makanan sangat berpengaruh terhadap jiwa (karakter, sifat, perangai, dll.). Jadi salah satu alasan pengharaman daging babi adalah pengaruhnya terhadap jiwa manusia (sifat kotor, rakus, mengutamakan kegemukan duniawi, dll) yang menjadi ciri khas binatang babi. Oleh karena itu, membunuh babi dimaksudkan sebagai menghilangkan sifat-sifat kotor, rakus (tidak berakhlak), dan yang lebih penting lagi menjauhi barang dan perbuatan haram.
Kemudian tentang tugas Almasih sebagai hakim yang adil, ini menunjukkan bahwa Almasih akan berdiri di tengah-tengah berbagai golongan. Suatu kenyataan yang kita saksikan, manusia terpisah-pisah dalam banyak golongan. Di dalam umat Islam sendiri, juga terdapat sekat-sekat ideologi paham keagamaan yang bermacam-macam, yang masing-masing mengklaim sebagai kelompok yang paling benar dan menganggap golongan lain salah. Pada umumnya, penggolongan tersebut pada awalnya disebabkan oleh masalah-masalah fiqiyah. Oleh karena itu, dalam hal ini, Almasih tidak memihak pada salah satu golongan fiqih, melainkan bersikap toleran dan akomodatif.
Tentang adanya kenyataan umat Islam terpecah-pecah dalam banyak kelompok, tentu sangat melemahkan potensi umat Islam sendiri. Bukan berarti umat Islam harus bersatu dalam satu paham keagamaan, atau dengan kata lain, tidak boleh berbeda-beda pendapat tentang berbagai hal, tetapi yang terpenting adalah sikap terhadap berbagai perbedaan itu. Untuk menyatukan dalam satu pikiran dari milyaran umat Islam, tentu usaha yang mustahil dan sia-sia. Tetapi menyatukan seluruh kaum Muslimin menjadi satu keluarga besar dengan masing-masing golongan dan individu saling memahami perbedaan-perbedaan yang ada, bukan saja sangat mungkin, tetapi kalau kita mencermati perkembangan keadaan, menunjukkan gejala ke arah sana. Sikap lapang dada dan toleransi, mau tidak mau, telah menjadi tuntutan zaman sekarang, dan kedua sikap inilah yang sekarang sedang berkembang dan dikembangkan oleh hampir semua golongan dalam Islam. Sebagai contoh adalah sikap kaum Muslimin pada umumnya terhadap Ahmadiyah Lahore. Dalam buku-buku terbaru yang ditulis oleh para sarjana belakangan ini telah menempatkan Ahmadiyah Lahore sebagai bagian dari Islam, yang sebelumnya dianggap kelompok minoritas non-Islam, dengan tetap mengakui adanya sejumlah perbedaan.
Tampaknya, perkembangan tersebut akan mengarah kepada suatu keadaan, dimana identitas organisasi tidak menjadi sesuatu yang sangat penting, atau, sekurang-kurangnya, fanatisme golongan yang sempit menjadi lebih longgar, dan bahkan mungkin akan menjadi hilang. Kita dapat menyaksikan beberapa gejala, misalnya pemuda-pemuda NU bersekolah di sekolah Muhammadiyah, dan banyak pula pemuda-pemuda Muhammadiyah belajar di pondok pesantren NU. Demikian juga yang terjadi pada Ahmadiyah Lahore. Gambaran yang lebih terang lagi adalah pada Pemilu yang lalu, dimana organisasi keagamaan tidak bisa lagi diarahkan sebagai unsur kekuatan dalam politik praktis oleh tokoh-tokohnya. Ini menunjukkan, sekali lagi, bahwa fanatisme golongan sudah sangat longgar.
Jika gejala-gejala di atas memang menunjukkan suatu perkembangan ke arah kesatuan umat Islam, maka pada saatnya orang hanya akan berbicara tentang Islam yang satu dan bukan lagi bicara golongan-golongan, kecuali, tentunya, dalam kajian-kajian ilmiah dan kesejarahan. Sikap “berada di tengah semua golongan” adalah salah satu ciri khas Ahmadiyah Lahore. Kesatuan seluruh kaum Muslimin dan persatuan seluruh umat manusia, adalah dua sifat dakwah Ahmadiyah Lahore, disamping tidak memaksa, rasional, dll.
Hazrat Mirza Ghulam Ahmad tidak mengaku menjadi "nabi"
Agaknya tidak bisa dipungkiri bahwa secara faktual Hazrat Mirza Ghulam Ahmad pernah mengaku nabi. Tetapi tidak boleh diabaikan pula adanya fakta lain bahwa pengakuan itu telah diralat atau lebih tepatnya dijelaskan oleh beliau. Singkatnya, pengakuan sebagai nabi hanya dalam arti harfiah, bukan dalam pengertian istilah atau syari'ah. Begitu pun, jika prang masih merasa keberatan dengan kata itu (Nabi), hendaknya diganti dengan muhaddats.
Ada ilustrasi sebagai berikut. Seorang intelek, mana kala harus berbicara dengan orang awam, maka ia harus menggunakan bahasa orang awam. Sama dengan ketika orang dewasa harus berkomunikasi dengn seorang bocah, maka ia juga harus menggunakan bahasa kanak-kanak. Ada contoh yang menarik. Seseorang yang saya tahu kurang terpelajar memberikan komentar terhadap berita radio yang mengatakan seorang pejabat tinggi diseret ke pengadilan karena tindak kejahatannya. Pemahaman orang ini, pejabat tinggi itu benar-benar diseret seperti ia menyeret kambing yang memberontak atau menyeret pelepah kelapa kering. Saya merasa perlu menjelaskan bahwaa yang dimaksud adalah : pejabat tinggi itu dibawa ke sidang pengadilan, dengan tetap naik mobil dan dikawal petugas.
Kembali pada pokok pembicaraan, bahwa di dunia sufi, penggunaan kata nabi dan wahyu bagi seseorang yang memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dengan Allah, adalah sangat biasa dan sudah menjadi pengertian umum. Tetapi istilah ini menjadi asing di telinga dan pemahaman orang yang tidak berada atau tidak memahami dunia sufi. Pertanyaannya adalah: Apakah Hazrat Mirza Ghulam Ahmad seorang sufi? Kalau orang mau jujur memperhatikan kebersahajaan pola hidupnya, ketinggian ruhaninya dan kemampuan spiritualnya, maka akan berkesimpulan bahwa beliau adalah orang yang menempuh jalan sufi. Beliau telah mengorbankan segala yang beliau miliki untuk menegakkan kebenaran Islam. Beliau benar-benar mengesampingkan kehidupan duniawi (materi), dalam arti, usahanya bukan untuk memperoleh kebesaran duniawi, melainkan sepenuhnya untuk menegakkan Kedaulatan Ilahi. Boleh jadi pernyataan semacam itu terkesan berlebihan bagi sebagian orang. Tetapi kalau kita memahami kondisi umat Islam pada saat itu, kesan berlebihan itu tidak akan muncul. Lihat saja Maulvi Muhammad Husein, seorang pemimpin golongan Ahli Hadits, yang memberikan apresiasi begitu tinggi kepada beliau, kendati dalam sejumlah masalah keagamaan, keduanya berseberangan. Dalam mengomentari buku Barahini Ahmadiyah yang ditulis oleh Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, beliau mengatakan dalam majalah Isha'at al-Sunnah, vol. 7, Juni - November, 1884, sbb.:
"Pada hemat kami, buku ini belum pernah ditulis oleh kalangan Islam pada abad sekarang dan entahlah untuk masa yang akan datang. Semoga Allah setelah ini berkenan menganugerahkan peristiwa lain yang menggembirakan. Penulis buku ini telah membuktikan keteguhannya dalam membela Islam, baik dengan harta, pena, lisannya, dan pengalaman agama pribadinya yang demikian luas sehingga jarang sekali teladan serupa ini ditemukan di antara kaum Muslimin sebelumnya. Apabila ada orang yang menganggap bahwa perkataan kami ini berlebihan sebagaimana halnya kebiasaan orang asia, maka suruhlah ia menunjukkan pada kami paling sedikit satu dari buku serupa ini yang memuat bantahan yang kuat dan tegas terhadap semua golongan yang menentang islam, khususnya orang pembela perkara Islam yang di samping membela perkara Islam dengan hartanya, jiwanya, penanya, lisannya, dan juga telah maju ke depan dengan pengalaman agamawinya menghadapi penentang Islam dan para penolak wahyu. Selain itu, hendaknya dengan jantan menantang bahwa barangsiapa meragukan kebenaran wahyu, maka dipersilakan datang kepadanya untuk menyaksikan kebenaran. Dan hal inilah yang membuat orang non-Muslim merasakan kebenaran Islam."
Klaim Hazrat Mirza Ghulam Ahmad dan penggenapan sabda Nabi Suci Muhammad saw.
Dalam sejarah kenabian, agaknya tidak ada seorang nabi pun yang pada awalnya tidak dimusuhi atau bahkan ditolak oleh kaummnya. Nabi Ibrahim, misalnya, beliau harus menjalani penganiayaan dengan cara dibakar. Nabi Musa, juga dikejar-kejar. Nabi Isa, harus menjalani penyaliban (masalah ini akan dibahas tersendiri --pen.), Nabi Muhammad saw., bahkan sampai pada tingkat akan dibunuh. Rupa-rupanya, hal yang demikian bukan saja menimpa para nabi, melainkan juga para pejuang perkara Allah. Tiga dari empat Khalifah-ur Rasyidin harus mati di tangan pembunuh. Demikian juga para imam besar: Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi'i dan Imam Ahmad bin Hambal, termasuk Imam Ghazali. Artinya, orang yang membela perkara Allah, boleh dikatakan, selalu menerima cobaan-cobaan berat. Jadi, penolakan kepada Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, sesungguhnya bukan sesuatu yang merisaukan, karena Nabi Suci Muhammad saw. pun, kendati semua orang Islam mengakui sebagai manusia paling sempurna, toh harus mengalami ujian dan cobaan yang ekstra berat, dan bahkan sampai sekarang pun masih banyak yang menolak.
Klaim Hazrat Mirza Ghulam Ahmad sebagai mujaddid, masih dan mahdi, sesungguhnya pada saat yang tepat. Artinya, keberadaan beliau sebenarnya sesuai dengan tuntutan zaman dan keadaan. Dengan kata lain, zaman itu sangat membutuhkan kehadiran beliau. Hal ini tidak dalam pengertian personal. Maksudnya, seandainya bukan Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, maka dapat dipastikan ada orang lain yang akan membuat pengakuan-pengakuan seperti itu. Oleh karena secara faktual yang membuat pengakuan adalah Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, maka sebagian orang (yang kemudian menjadi pengikut beliau) meyakini bahwa beliau merupakan penggenapan atas sabda Rasulullah Muhammad saw. yang menyatakan bahwa tiap-tiap permulaan seratus tahun (abad) Allah akan membangkitkan seseorang yang akan melakukan pembaruan dalam agama Islam (Hadis riwayat Abu Daud).
Kendati begitu, terhadap klaim Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, orang bebas bersikap: percaya atau tidak percaya. Orang boleh tidak percaya jika memiliki alasan. Orang juga boleh percaya sepanjang memiliki alasan yang jelas. Itulah makanya, Allah menyatakan bahwa dalam agama (Islam) tidak boleh ada pemaksaan (Q.s. Al-Baqarah [2]: 256). Dalam banyak kasus, sesuatu yang diyakini kebenarannya oleh seseorang, belum tentu orang lain menerima kebenaran itu. Lebih-lebih masalah keagamaan. Oleh karena Islam adalah milik Allah, maka dalam kasus seperti ini biarlah Allah sendiri yang menjadi hakim. Mungkin, yang lebih penting dari persoalan percaya atau tidak percaya itu adalah hasil atau akibat dari sikap yang diambil. Maksudnya, kalau penerimaan terhadap klaim Hazrat Mirza Ghulam Ahmad itu ternyata tidak berpengaruh apa-apa terhadap perkembangan iman dan ketaqwaan dalam dirinya, yang kemudian teraktualisasi ke dalam praktik hidup atau pun semangat pembelaan terhadap kebenaran Islam, maka penerimaan itu tidak punya arti apa-apa. Demikian juga bagi orang yang menolak, kalau ternyata tidak lebih baik ketimbang orang yang menerima, tentu tidak pada tempatnya kalau kemudian memburuk-burukkan, mencaci-maki, menghujat, dlsb. Menghujat, mencaci-maki, apa pun alasannya, bukanlah perbuatan yang terpuji. Kalau pun, seandainya, Hazrat Mirza Ghulam Ahmad dan pengikutnya adalah tidak benar, maka berarti para penghujat sudah melakukan perbuatan yang tidak terpuji. Apalagi kalau Hazrat Mirza Ghulam Ahmad dan pengikutnya ternyata benar, yang mungkin kebenarannya hanya belum diketahui saja oleh para penghujat, maka para penghujat itu tentu akan mengalami kerugian ganda. Sekali lagi, karena ini persoalan agama, biarlah Allah yang mengadili. Islam adalah milik Allah, maka Dia pasti akan membela jika ada upaya-upaya penghancuran.
Kata pembaruan, dalam konteks Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, hanyalah mengembalikan Islam pada pangkal kemurniannya. Kalau Islam diibaratkan sebuah bangunan, yang bangunan itu sepenuhnya harus bertumpu pada Al-Qur'an, maka seperti itulah yang diupayakan oleh Hazrat Mirza Ghulam Ahmad. Kalau praktik syariatnya harus mengikuti contoh Rasulullah Muhammad saw., maka itu pulalah yang diajarkan oleh Hazrat Mirza Ghulam Ahmad.
Islam, terutama pada masa beliau, sungguh-sungguh telah kehilangan daya tariknya. Hal ini disebabkan, terutama sekali, oleh satu hal, yakni "umat Islam telah meninggalkan Qur'an" (Q.s. Al-Furqan [25]: 30). Kecuali itu juga mengabaikan teladan Rasulullah Muhammad saw. Dalam menafsirkan Qur'an, banyak diselipkan dongeng-dongeng yang tidak jelas asal-usulnya. Praktik-praktik mistik pun banyak dilakukan oleh umat Islam dan dianggap sebagai ajaran Islam. Ibarat sebuah taman, maka keindahan taman Islam benar-benar tertutup oleh semak-semak dan ilalang bid'ah, khurafat dan takhayul. Apa-apa yang diajarkan oleh orang yang dianggap imam atau ulama, meskipun tidak jelas sumbernya, dijalankan oleh pengikutnya. Pendek kata, umat Islam kehilangan kemandirian dalam hal beragama. Sikap taqlid kepada ulama benar-benar menjadi ciri umat Islam ketika itu. Ulama bahkan dianggap memiliki otoritas lebih tinggi dibanding Qur'an dan Sunnah Nabi. Hal-hal seperti itulah yang menyebabkan umat Islam mundur dan bahkan menjadi paling terbelakang, setelah berjaya selama berabad-abad sebelumnya. Oleh karena itu Allah berkehendak untuk membersihkan taman itu melalui seorang pembaru (mujaddid). Hazrat Mirza Ghulam Ahmad-lah yang mengaku sebagai 'juru taman' itu untuk membersihkan semak-semak yang menutupi keindahan taman Islam, hingga kembali mempesona bagi siapa pun yang memandang. Hazrat Mirza Ghulam Ahmad tidak mengubah, menambah atau pun mengurangi setitik pun tentang ajaran Islam seperti yang dicontohkan oleh Nabi Suci Muhammad saw.
Jadi, pembaruan yang dilakukan oleh Hazrat Mirza Ghulam Ahmad bukanlah menambah sesuatu yang sebelumnya tidak ada atau yang sejenis dengan itu, melainkan 'hanya' mengembalikan Islam seperti aslinya, yakni Islam yang indah menawan, dan siapa pun pasti akan tertarik kepada Islam, karena fitrah manusia menyukai keindahan. Islam adalah agama yang selaras dengan fitrah manusia (Q.s. Ar-Ruum [30]: 30). Kalau pun sampai hari ini masih banyak orang yang belum tertarik kepada Islam, boleh jadi karena belum memahami kebenaran ajarannya, atau, boleh jadi, umat Islam sendiri belum mampu menampilkan keindahan Islam dalam pribadinya. Dengan demikian, yang lebih dibutuhkan pada saat ini bukan berlomba-lomba mengoreksi dan mencari kesalahan orang, melainkan berlomba-lomba berbuat kebaikan (Q.s. Al-Baqarah [2]: 148). Wallahu a'lam bish-shawab. [MYN]

Kamis, 03 April 2008

Allohu Akbar


( Inilah picture salah satu di Film Fitna yang telah menghina umat muslim )
Islam memang lahir terasing dan akan kembali dalam keadaan terasing pula.
Ironis sekali memang….di pihak luar banyak yang memojokkan islam, mendiskreditkan, bahkan sampai pada tahapan fitnah yang tidak berdasar. Sementara di dalam sendiri sudah banyak dari kita yang termakan oleh penetrasi budaya barat, termakan pendangkalan akidah berkedok modernisme. Mari kita saling mengingatkan agar kita saling membantu antar saudara muslim. Jika ada yang tergelincir jangan kita hinakan atau kita jauhi, karena sebenarnya saudara kita juga butuh bantuan secara tidak langsung baik berupa peringatan maupun ajakan. Semoga Allah melindungi kita semua Aamiin….
Orang-orang kafir itu memang tidak akan pernah berhenti memusuhi kita dan akan berusaha menyelewengkan kita dari keyakinan terhadap akidah Islam baik dengan metode secara halus,sok simpatik, maupun yang langsung secara terang-terangan…
Hasbunallaah wa ni’mal wakil ni’mal maulaa wa ni’man nasiir.